Kami bertetangga dengan sebuah keluarga PNS yang baru pindah dari Jogya.
Ayahku adalah pegawai negeri sipil biasa dan Pak Achmad adalah juga PNS
tetapi punya kedudukan yang lebih tinggi. Kalau gak salah Pak Achmad
berasal dari kota Klaten sedangkan Bu Achmad berasal dari Jogya. Pak
Achmad ini orangnya gemuk pendek dan berkulit agak hitam namun berwajah
lumayan, kontras sekali dengan Bu Achmad atau yang sering kali dipanggil
dengan sebutan Ibu Ning atau Ibu Ningsih.
Ibu Ning ini tubuhnya agak
langsing seimbang dengan postur tubuhnya yang tinggi berisi. Ibu Ning
ini lumayan cantik lebih tepatnya Ayu karena penampilannya setiap hari
sangatlah “indah dipandang mata” dan aku paling suka berlama-lama
mencuri-curi pandang mengamati Ibu Ning setiap kali lewat depan rumahku.
Tubuhnya seksi abis cing, rambutnya hitam panjang sebahu dengan kulit
tubuh yang kuning langsat dengan sepasang buahdadanya yang montok. Ibu
Ning hanyalah ibu rumah tangga biasa yang selalu aktif dalam kegiatan
Dharma Wanita di kantor Pemda dan Kabupaten.
Aku sendiri satu umur dengan
anak gadisnya yang nomor empat namun kami berlainan sekolah. Dengan
demikian kami tumbuh bersama menjelang masa remaja, namun baru setelah
tamat SMP aku dan Dewi satu sekolah di SMA. Aku suka main dirumahnya
Dewi untuk meminjam buku atau apa sajalah, yang penting aku bisa bertemu
dan ngobrol dengan Ibu Ning yang seksi dan ayu.
Namun sejak aku di bangku
kelas tiga SMP aku mulai tertarik kalau melihat Ibu Ning ini. Orangnya
tinggi langsing, wajahnya sebenarnya cukup cantik, hidungnya mancung dan
bibir bibir yang sexy. Betis betis kakinya yang besar dan panjang itu
juga berbentuk indah. Tetapi selama hidupku aku tak pernah melihat Ibu
Ning ini tampil berlebihan. Pergi ke Pemda dan Kabupaten aja Ibu Ning
hanya berdandan biasa saja tanpa make up yang berlebihan.Namun tetap
saja kelihatan ayu dan seksi karena memang dari asalnya juga sudah ayu.
Setiap hari Ibu Ning ini bila
tidak ada kegiatan Dharma Wanita di Pemda ya sibuk didapur memasak. Ibu
Ning senang sekali bila aku menemaninya memasak didapur dan kami
mengobrol soal apa saja, namun aku tidak bisa terlalu sering menemaninya
karena aku sekolah. Aku bisa menemaninya memasak didapur bila aku libur
atau membolos sekolah. Dan bicara soal membolos sekolah, aku selalu
kompak dengan Dewi yang notabenne adalah anak Ibu Ning. Setiap kali
membolos sekolah aku selalu sembunyi di rumahnya Dewi dan bila Ibu Ning
bertanya kenapa aku pulang cepat maka aku selalu punya alasan yang tepat
dan masuk akal agar tidak dicurigai.
Ibu Ning ini adalah seorang
wanita yang polos dan baik hati karena setiap kali aku mampir saat
membolos sekolah, maka aku tak pernah kelaparan karena selalu saja
tersedia makanan dan minuman yang membuatku betah berlama-lama ngobrol
dengan Ibu Ning. Namun demikian yang membuat mataku suka jelalatan
adalah sikap Ibu Ning ini kalau duduk suka sembarangan dan inilah yang
membuat aku jadi bernafsu padanya. Suatu hari aku meIihat Ibu Ning
memakai baju daster yang bertali simpul dibahunya, sehingga bahunya agak
terbuka dan akibatnya tali bra nya yang warna hitam itu kelihatan
bahkan karena kain daster yang tipis itu maka buahdadanya yang putih
montok dan besar itu tercetak makin jelas dan terlihat nyata.
Aku tak tahan melihat semua
ini jantungku pun berdetak tak karuan, sementara itu Ibu Ningpun cuek
saja sebab sibuk dengan pekerjaannya. Kebetulan saat itu tak ada siapa
siapa didapur selain aku dan Ibu Ning ini. Beberapa butir air keringat
mengalir di wajahnya yang ayu itu. Lehernya yang kuning jenjang nampak
mengkilat oleh keringatnya. Pemandangan ini yang membangkitkan nafsu
birahiku.Aku terus asyiik memandangi Ibu Ning asyiik menyiapkan
bumbu-bumbu untuk memasak, namun mataku terus mencuri-curi pandang ke
arah lekukan buahdadanya yang putih montok dan besar itu nampak
bergoyang-goyang seirama gerakan tangan dan tubuhnya.
Tiba tiba telefon berbunyi dan
Ibu Ning menyuruhku untuk angkat telefon. Ternyata telefon dari Pak
Achmad suaminya yang sengaja menelpon dari kantornya, mau bicara dengan
sang istri. Lalu dengan langkah gemulai Ibu Ning datang mendekatiku dan
mengambil alih gagang telefon itu sambil berdiri disampingku dekat
sekali hingga buahdadanya yang sedikit terbuka itu bisa aku lihat begitu
jelasnya. Kulit tubuhnya masih mulus putih padahal usianya sudah empat
puluh tahun.
Aku tak dapat menahan gelora
dalam hatiku lagi. Saat Ibu Ning berbicara dengan suaminya ditelefon
maka tanganku segera beraksi mengusap pelan bagian buahdadanya yang
nampak itu dan kuremas remas pelan. Aku merasa nikmat sekali bisa
menyentuh kulit yang putih itu. Ibu Ning hanya menatapku tapi tak
bereaksi apa apa dan kembali melanjutkan pembicaraan ditelepon dengan
Pak Achmad suaminya.
Selesai menutup telepon Ibu
Ning kembali melanjutkan menguleg bumbu dan mempersiapkan sayuran untuk
ditumis. Sambil menghapus keringat yang mengalir di keningnya dengan
tangan kanannya, Bu Ning menghela napas “heehhhh……. Uuhhhh….. “
“Kenapa Bu….?” Tanyaku memastikan
“Panassss…… Donnn….” Kata Ibu Ning sambil memandangku……….
Aku kembali mendekati Ibu Ning
dan tanganku kembali menyusup masuk baju dasternya lewat celah lengan
yang terbuka itu terus memegang buahdada yang putih montok dan besar itu
dan meremas dengan gemas.
Ibu Ning kaget dengan sikapku yang berani itu.
"Doni kenapa kamu
itu…?"……….”Kenapa kamu meremas susu ibu..?” Ibu Ning bertanya dengan
menahan marah karena sikapku yang kurangajar padanya.
"Maaaafff….Ibu Ning…..!” ….. aku hanya terdiam menunduk……. Tak berani melanjutkan kata-kataku…
“Ada apa Doniiii….!!!!.” …. Tanya Ibu Ning dengan nada keras yang membuatku makin terdiam membisu karena ketakutan…
“Doniiiii……..kenapa kamu seperti itu…jawab pertanyaan Ibu, bukannya malah diam membisu seperti itu….” Kata Ibu Ning.
Mungkin karena melihatku makin
ketakutan, Ibu Ning timbul juga rasa kasihan dalam dirinya sebagai
seorang wanita dan juga seorang ibu. Maka untuk mencairkan suasana yang
kaku, Ibu Ning mendekatiku dan meremas tanganku.
“Doniii…. Kamu sadar gak kalau
perbuatan kamu itu salah….?” Kata Ibu Ning lembut sambil membelai
kepalaku. “Kamu belum saatnya melakukan hal seperti itu ya…ingat kamu
masih sekolah kelas tiga SMA” ……..”Dan sebaiknya kamu konsentrasi dulu
pada pelajaran disekolah ya”…. Ibu Ning menasehatiku.
Aku terdiam membisu dan memandang wajahnya yang ayu dengan mata berkaca-kaca……. Bibirku bergetar menahan kata-kata……
“Ada apa Donii……???” …..tanya
Ibu Ning lembut sambil kembali membelai rambutku. “Katakan saja Ibu gak
akan marah koq….. asal kamu mau jujur…” kata Ibu Ning menenteramkan
hatiku.
Dan dengan segenap
keberanianku….akhirnya kata-kata itu terucap juga dari mulutku. “Maaf Bu
Ning…… saya…. Sayaaa jatuh cinta pada Ibu Ning….. “ kataku lirih sambil
menunduk karena takut akan apa yang mungkin akan terjadi, bisa saja Bu
Ning marah dan menampar wajahku atau malah mengusirku dari dalam
rumahnya.
Tiba-tiba Ibu Ning memelukku
dengan erat kemudian kedua tangannya mengangkat wajahku dan wajahnya
yang ayu menatapku dengan lembut sambil tersenyum. Wajah Bu Ning hanya
berjarak 5 centi dariku sehingga hembusan nafasnya yang harum dan hangat
menerpa pipiku. “Doniii….. Doniiii….. sejak kapan kamu jatuh cinta pada
Ibu…?” Tanya Ibu Ning lembut.
“Sejak pertama kali melihat Ibu Ning pindah kemari….” Kataku polos.
“Apa yang membuat Doni jatuh
cinta pada Ibu..?” Tanya Ibu Ning sambil tersenyum manis sekali….
Melihat Ibu Ning tak lagi marah maka aku makin berani untuk membuka
perasaan yang ada pada diriku. “Sungguhh… Ibu Ning tak akan marah klo
aku jujur mengatakannya….?” Aku memandang wajah Ibu Ning yang ayu dengan
penuh harap…..
“Ayooo katakan saja Donii….Ibu malah……. Senang koq….” Ibu Ning makin menggodaku
“Ibu Ning sangat seksi dan
menggg….menggairahkan……” Aku hanya diam memandang ekpresi wajah Ibu Ning
setelah mendengar pengakuanku……..
“Doniii….. Donii….. jadi
perasaan itukah yang membuat kamu berani berbuat kurang ajar pada
Ibu…??” Tanya Ibu Ning lembut sambil mengusap-usap pipiku.Aku tersenyum
bahagia sekali karena sikap dan kelembutan Ibu Ning yang mau mengerti
akan perasaan dan gelora dalam hatiku. Karena aku melihat ternyata dia
gak marah, seketika timbul keberanianku untuk melakukan hal yang lebih
jauh dari sekedar mengaguminya.
Aku pegang kedua tangan Ibu
Ning dan dengan segera aku memeluk tubuhnya erat-erat, kutempelkan
bibirku ketelinga kirinya dan dengan lirih kubisikan kata-kata cinta.
“Ehhemmm……………… Ibu Ning, Doni sayang banget pada Ibu Ning….”
”Doni cinta banget pada Ibu
Ning…..”….”Doni kagum pada Ibu Ning….” Kataku merayu ditelinganya. Ibu
Ning Hanya diam membisu sambil mengelus-elus punggungku. Kulepaskan
pelukanku padanya dan aku memandang wajahnya dengan mimik memelas dan
penuh harap……..
Lalu, ……… aku melihat seulas
senyum terkembang diwajahnya. Ibu Ning mengangguk dan tersenyum penuh
kelembutan “Ibu Ning juga sayang pada Doni…. “ katanya lirih. Aku
memandangi wajahnya yang ayu, lembut dan keibuan. Dan tiba-tiba mengalir
begitu saja….. aku mencium bibirnya dengan penuh gereget nafsu anak
muda yang baru menemukan cinta. Gemuruh nafasku memenuhi rongga dalam
mulutnya dan diapun membalas ciumanku. Ibu Ning sampai tersengal-sengal
menahan nafas.
“Doni…. Sudah ya…. Don…. nanti ada yang melihat kita bisa bahaya… “ kata Ibu Ning menyadarkanku sambil melepaskan pelukanku.
“Tapi Ibu Ning sayangkan pada Doni…” kataku penuh harap sambil memegang tangannya.
“Iyaaa…… iyaaa… Ibu Ning juga
sayang sama Doniii…..” kata Ibu Ning lembut dan tersenyum. Hari itu aku
merasa sangat bahagia sekali karena Ibu Ning, tetanggaku yang ayu, putih
dan seksi telah menerima perasaan cinta dan sayangku.
Entah mengapa pada diri wanita
tetanggaku yang telah berusia setengah baya ini kutemukan rasa cinta
dan sayang yang begitu menggelora dalam dadaku. Siang itu kami lalui
dengan kebahagian hingga Dewi pulang sekolah dan meminjamkan buku
catatan yang harus aku fotocopy biar aku gak ketinggalan pelajaran
karena membolos.
Hari Minggu pagi ini aku
sengaja mampir kerumah Dewi untuk mengajaknya jalan-jalan pagi sambil
berolah raga di Alun-alun Kabupaten dan ternyata sambutannya sungguh tak
terduga karena seluruh anggota keluarga Dewi ikut jalan-jalan pagi. Pak
Achmad dengan kaos training kuning terlihat mencolok karena kontras
dengan warna kulitnya yang hitam legam. Baru beberapa putaran telah
membuat Pak Achmad kepayahan dan beristirahat dibawah pohon yang
rindang.
“Waahh…. Waahhh…. Husss…. !” …dengus nafas Pak Achmad…..
“Aduuuuhh….. hehhhh….. capek
banget Don, Bapak istirahat dulu ya…. Capek..” Kata Pak Achmad kepadaku
sambil mengangkat tangan kanannya.
“Pahh…. Wawan capek nih…..
ikutan istirahat ya…” Kata Mas Wawan yang baru tiba setelah lari
beberapa putaran. “Don, kamu masih kuat….??” Sambungnya.
“Aku sih lumayan cape juga tapi….. ntar aja istirahatnya…” sahutku tersenyum.
“Yah… udah sana lari lagi sambil jagain mama dan adik-adikku ya….” Kata Mas Wawan sambil mendorongku untuk segera lari lagi.
“Ok. Mas…. Siip dah…” kataku
sambil lari menyusul Ibu Ning, Dewi, Mbak Anna dan Mbak Sintha. Setelah
beberapa saat mengejar maka aku berhasil menjajari Ibu Ning. Dia
tersenyum manis sambil memandangku penuh keteduhan. “Lhooo…koq Ibu Ning
sendirian aja…mana yang lainnya…??” tanyaku pura-pura cemas.
“Gak…papa koq…. mereka udah lari jauh didepan…” kata Ibu Ning
“Waduhhhh……. Gawat…. ??” kataku dengan mimik wajah cemas sambil memandang wajah Ibu Ning.
“kenapa Donnn…. “ Tanya Ibu Ning penuh kebingungan
Dengan muka serius aku
menjawab “Wahhh…. bisa gawat nihhh…gimana jadinya klo ada orang jahat
yang iseng menculik Mamanya, mereka pasti akan merasa kehilangan Ibunya
yang cantik dan seksi ini…” Tapi biar gak ada yang berani menculik maka
biarlah saya akan mengawal mama mereka yang ayu dan seksi ini…” kataku
sambil tertawa lucu dan menjajari langkah Ibu Ning.
Ibu Ning hanya tersenyum
sambil terus berlari-lari kecil, tubuhnya yang seksi bergerak-gerak
gemulai dan aku terus memandangi sepasang buahdadanya yang besar dan
montok yang bergerak naik turun saat kakinya bergerak.
“Huusss….. huusss…… “ Kata Ibu
Ning sambil mengibaskan tangan kirinya ke wajahku untuk mengalihkan
pandangan mataku yang terarah ke buahdadanya yang montok, besar dan
menggiurkan.
“Doonnni….. Doonnn….kamu
kenapa sihhhh….koq aneh sekali ….????” Tanya Ibu Ning membuyarkan
anganku. Ku pandang wajahnya yang ayu dan putih sambil tersenyum penuh
sejuta arti.
“Ada apa Bu Ning…..?” Tanyaku sambil terus berlari-lari kecil
“Besok Senin kamu punya acara
apa…” Tanya Ibu Ning sedikit lirih menghindari kecurigaan orang lain
yang lalu lalang di sekitar kami.
“Besok …. Eeehh… entahlah Bu… “ Sahutku sekenanya
Hari ini Senin 21 Maret,
setelah mengikuti upacara bendera dan pelajaran pertama yang
membosankan, aku segera minta ijin pulang dengan alasan sakit perut
diare. Setelah memperoleh ijin pulang dari guru BP, aku mampir ke meja
Dewi untuk pamit pulang.
“Wi, sorry ya aku pulang duluan ya, abis aku sakit perut nih…… daagg…!” kataku sambil terus melangkah keluar kelas.
“OK, Bos !....” kata Dewi sambil tersenyum.
Setelah naik angkot selama 25
menit aku melanjutkan dengan jalan kaki lewat jalan Gang Kancil 1, aku
terus melangkah menuju rumahnya Pak Achmad tetanggaku lain Gang tapi
masih satu RT.
Setelah membuka pintu pagar
depan, aku tidak segera mengetuk pintu depan karena biasanya pintu depan
selalu terkunci. Aku meneruskan langkah memutar menuju pintu dapur yang
terletak di belakang. Yang terlihat sunyi sepi. Namun tak lama kemudian
aku melihat tubuh Ibu Ning yang sedang berdiri membelakangiku didepan
tempat cucian piring. Oohh… rupanya Ibu Ning sedang mencuci piring atau
gelas nih. Tanpa menimbulkan suara aku membuka pintu yang hanya setengah
berdiri.
Pelan-pelan aku melangkah
mendekatinya kuamati tubuhnya yang kuning langsat karena saat itu Ibu
Ning hanya mengenakan baju daster warna hijau kembang-kembang dan
bertali simpul satu dipundaknya. Lengannya dan juga pantatnya terlihat
berisi karena memang wanita seusia dia pasti akan terlihat sedikit gemuk
dan Tiba-tiba aku ingin menggodanya. Aku berjingkat perlahan dan
menutup kedua matanya dengan tanganku dari belakang. Ibu Ning kaget
berusaha melepaskan kedua tanganku. Aku menahan tawa sambil tetap
menutup kedua matanya. Tapi akhirnya Ibu Ning mengenaliku juga. Maka
segera kukendorkan tanganku.
"Donnii …… kamu bikin kaget
Ibu saja akhh …..." Ucap Bu Ning sambil tetap membelakangiku dan menarik
kedua tanganku kedepan dadanya. Ibu Ning bersandar didadaku. Kedua
belah tanganku tepat mengenai buahdadanya yang kurasakan empuk dan besar
itu. Gelora aneh mengalir didarahku. Sementara Bu Ning terus
melanjutkan aktifitasnya mencuci gelas, aku justru memperhatikan
bulu-bulu lembut dileher jenjangnya Rambutnya yang lurus sebahu saat itu
tertarik keatas dan terjepit jepitan rambut, hingga leher bagus itu
dapat kunikmati utuh. Aku berdesir. Kurasakan napasku mulai berat.
Dengan bibirku akhirnya kukecup leher itu. Bu Ning merintih kegelian dan
menghentikan kegiatan mencuci gelas lalu mencubit lenganku dengan
genit. "Hiiiiihh ... Jangan Doonnnn …. Akhhhh ..... Ibu jadi merinding
aahhh…" kata Ibu Ning. Sementara itu dekapan tanganku disusu dan dadanya
makin kuat.
Ketika kuperhatikan ternyata
Ibu Ning tidak marah dan tetap tenang maka kuulangi lagi kecupan itu
berulang-ulang. Bekas cukuran kumis dan janggutku membuatnya kegelian.
Tapi kurasakan tangan Bu Ning perlahan mencengkram erat dikedua jariku
dan dia diam saja. Aku makin bernapsu. Ciuman, kecupan dan hisapan
bibirku makin menjadi-jadi ke leher dan telinganya. Ibu Ning
mendesah-desah sambil memejamkan mata. Kepalanya bergerak-gerak
mengikuti cumbuan bibirku. Matanya terpejam dan napasnya menggelora.
Kucari bibirnya, karena susah maka kuputar tubuhnya menghadapku dan
langsung kusambar dengan bibirku.
Kupeluk erat Bu Ning. Dia
menggeliat membalas ganasnya permainan bibirku. Kedua tangannya
memegangi bagian belakang kepalaku seolah takut aku melepaskan ciuman
bibirku. Kuremas-remas buahdadanya dengan tangan kananku. Bu Ning
melepaskan ciumannya lalu merintih-rintih dengan kepala terdongak
kebelakang seolah memberikan lehernya untukku. Dengan ganas langsung
kuciumi leher yang jenjang dan terbuka itu.
“Oohh…. Donnnii…….. ooohhh….” Rintih Ibu Ning menahan nafsu birahi.
“Bu Ningggg …… eehhh….
Buahdada ini membuatku jadi bernafsu…” kataku dengan hati yang polos.
Walau hatiku berdebar menahan gelora, tanganku masih saja menggerayangi
dan meremas gemas buahdadanya yang montok dan besar itu. Tanganku segera
menyelusup kedalam baju dasternya karena memang simpul tali dasternya
telah berhasil aku lepaskan dari tadi. Jari tangan kananku menyelusup
kedalam BHnya dan mengelus lembutnya buahdada seorang wanita setengah
baya yang kini terkulai dalam pelukanku. Jari tanganku meremas-remas
buahdada Ibu Ning yang besar dan montok itu, bahkan ketika sampai
keputingnya dan memelintir-lintir puting itu, terasa kalau puting
buahdada Ibu Ning telah menegang dan keras.
"Oooohh … Donnnii … !" Ibu
Ning mengeluh nikmat sambil memerem matanya dan menegakan badannya.
Rupanya Ibu Ning juga merasa nikmat dengan permainan tanganku ini. Dan
kuremas-remas terus buahdada yang masih kenyal dan besar itu. Ibu Ning
semakin mengerang-erang. Kuraih kepalanya dan kucium bibirnya, walau aku
sendiri masih bodoh dalam berciuman. Namun aku tetap pede cepat ku
sambar bibirnya lagi. Ibu Ning tersandar dikursi makan menatapku nanar
penuh gelora nafsu.
Melihat Ibu Ning yang sudah
terkapar karena nafsu birahi yang menggelora itu, membikin aku tambah
nekad lagi. Kukeluarkan kedua buahdadanya itu dari dalam BHnya dan
kuhisap kedua buah putingnya silih berganti. Ibu Ning semakin merintih
dan mengerang dengan suara lirih tertahan sambil membuka kedua kakinya
lebar-lebar yang menjuntai kelantai.
Tangan kiriku masuk kebalik
baju dasternya terus menembus celana dalamnya dan mengusap-usap bibir
*****nya. Jari tanganku menyelusup kedalam lubang *****nya dan
mengocoknya keluar-masuk dengan perlahan-lahan dan kemudian berubah
menjadi cepat dan semakin cepat seiring deru nafas Ibu Ning yang
menderu-deru menuju puncak birahinya. Ibu Ning berteriak lirih dan
*****ik tertahan, rupanya permainan jari-jariku telah membawa Ibu Ning
mencapai klimaksnya.
"Sudaahhh ….. suuuddaaah …....aaaachhhh …. !"
“Ooohhhh …… Doonnniii ……
ooohhh …….. aachhh ……!” rintih Ibu Ning dengan suara bergetar. Lalu ia
bangun berdiri seperti marah padaku. Menatapku dengan mata terbelalak.
Bibirnya gemetaran.
"Donnn………. Donniiiii ……!" Lalu
Ibu Ning bangkit berdiri dan buru buru memasukan kembali kedua
buahdadanya yang aku keluarkan tadi dan segera meninggalkan dapur yang
juga jadi ruang makan itu. Kulihat Ibu Ning bergegas masuk ke kamar
tidurnya dan menutup pintu.
Aku cepat cepat kabur saja
dari rumah itu. Malamnya ku datang ke rumah Ibu Ning lagi, dengan alasan
mau ketemu sama Dewi. Kulihat Ibu Ning lagi diruang tamu duduk
berpangku kaki sambil membaca tabloid wanita. Ibu Ning hanya menatapku
sekilas dan tidak menjawab salamku. Mungkin Ibu Ning masih marah atas
kekurang ajaranku tadi siang pikirku.
Pada suatu pagi aku kembali
tak masuk sekolah, dan aku segera menuju rumah Pak Achmad, aku yakin
pagi ini pasti Pak Achmad pergi kekantor seperti biasanya. lewat halaman
samping aku terus menuju bangunan belakang dan kemudian masuk ke dapur
dan dipojok sana dekat kamar mandi aku lihat Ibu Ning sedang mencuci
pakaian. Ibu Ning punya kebiasaan kalau mencuci celana dalamnya dan anak
anak gadisnya Ibu Ning hanya mengucek ngucek sendiri dan tak pernah
memasukannya kedalam mesin cuci.
Ibu Ning sedang duduk pada
sebuah bangku kecil sambil membuka lebar kedua pahanya sementara
dasternya tersingkap sampai jauh keatas pahanya yang putih mulus.
Mungkin sebab tak ada orang lain di rumah ini karena pembantu lagi
pulang kampung maka Ibu Ning jadi bersikap bebas begitu dan Ibu Ning pun
kaget dengan kehadiranku yang tiba tiba itu.
”Lhooo… Donii…. Kenapa kamu gak masuk sekolah….?” Tanya Ibu Ning heran.
“Bolos lagi ya….. nanti kamu bisa-bisa gak naik kelas lho ……” sambungnya.
“Eeghhh …. Eeghhh… nggak koq Bu Ning …..” aku bingung juga menjawabnya.
“Eeghh …… anu …. Anuuuu ….. Bu Ning ……” aduhhh …. Aku makin bingung.
“Anu apa Don ….. anuu …nya siapa ….?” Tanya Ibu Ning tersenyum-senyum.
“Anunya Doni kenapa …..?” hii …. hi ….. tawanya lirih ….
“Anu Bu Ning …. Tadi saya
bangun kesiangan jadinya malas mau masuk kesekolah, gak enak klo mesti
dimarahin dulu ama guru BP …..” kataku memelas. Mencari simpaty darinya.
Aku pura pura nanya segala
macam untuk mengajak Ibu Ning ngobrol sambil aku duduk di hadapannya
hingga pahanya yang besar yang telah basah oleh air sabun jadi mengkilap
putih. Bisa kulihat dengan jelas bulu-bulu hitam keriting yan tumbuh
lebat disekitar lubang *****nya karena celana dalam yang dipakai Ibu
Ning sangat tipis, membuat aku jadi benar benar terangsang.
“Bu Ning klo Mas Wawan, Mbak Anna dan Mbak Shinta kuliah di fakultas apa sih ….. koq mereka jarang pulang ya . …?” tanyaku.
“Doni …. Doni ….. klo Mas
Wawan kuliah di fakultas Tehnik Mesin di ITB Bandung. Kalau Anna di
fakultas akuntansi sedangkan Shinta di fakultas sastra inggris, mereka
berdua di Jogyakarta.. “ kata Ibu Ning sambil tetap mencuci. Entah
kenapa Bu Ning tetap tak merubah posisi duduknya sadar atau tidak dengan
posisi duduknya itu, dia telah membangkitkan nafsu birahi dalam dadaku
yang saat ini sedang menggelora dan sulit untuk dikendalikan. mataku
terus melotot kearah selangkangannya.
Aku lalu berdiri dan memutar
mendekatinya dari belakang dan sambil berjongkok kupeluk tubuh sintal Bu
Ning, jari tangan kananku segera meraba pahanya yang basah itu dan agak
meremas-remas kulit paha yang masih kenyal dan putih itu, sementara
penisku mulai bergerak gerak didalam celanaku yang menempel ketat
dipunggungnya..
"Heeeii ... Doonnniiiii ….Heeiiii ….!" sergah Ibu Ning tapi tanpa menoleh padaku.
"Doonnniii ……. Jangan nakal
yaaaa ……". Tapi nada suaranya tidak seperti orang marah. Jari-jariku
turun kebawah sampai mendekati selangkangnya dan kusingkap lebih keatas
lagi baju dasternya.
"Aduuuh ….. Doonniii …. ini
nakal sekali ya ?" kali ini suara Bu Ning agak meninggi sedikit, tapi ia
tetap saja melanjutkan mengucek cucian celana dalam. Dan tanganku sudah
tak bisa ditahan lagi, jari-jariku segera menerobos masuk kedalam
CDnya.
Kurasakan bulu-bulu jembutnya
yang lebat dan keriting itu sementara jari-jariku terus saja masuk
menyusup hingga aku menemukan lobangnya. Aku yakin bahwa ini adalah
lobang *****nya Ibu Ning, segera jari tengahku dan jari telunjukku
kudorong masuk. Ibu Ning menjerit lirih karena gelid an seketika menoleh
menatapku seperti tak percaya kalau aku berani berbuat sejauh itu. Bu
Ning berusaha menarik keluar tanganku, tapi aku tetap bertahan. Dengan
gerakan lembut dan cepat aku mengocok keluar masuk kedua jariku didalam
*****nya Bu Ning itu.
Kulihat Bu Ning memejamkan
matanya sambil terus mendesah dan mulai menyandarkan kepalanya dibahuku,
tubuh sintalnya terkulai dalam pelukanku sedangkan kedua kakinya
semakin dibuka lebar-lebar. Aku semakin kuat dan cepat mengocok keluar
masuk terus hingga jari jariku terasa basah oleh cairan birahi yang ada
didalam lobang *****nya Bu Ning itu.
Kedua tangannya terkulai lemas
sambil memegangi kedua tanganku di kanan dan kiri dan kepalanya
mendongak keatas dan suara nafasnya melenguh-lenguh dan memburu. Tangan
kiriku bebas menggerayangi dan meremas-remas buahdadanya. Buahdada Bu
Ning memang besar walau sudah agak kendor dengan putingnya yang berwarna
kecoklatan, kupelintir-pelintir putingnya untuk menambah sensasi birahi
yang kini menggelora dalam dirinya. Bibirku terus bergerak menciumi
lehernya yang jenjang dan terbuka itu.
“Doonnn ….. Doonniiii ….
Jangaaann ….. aachhh …. jang aaann …… “ rintih Bu Ning sambil memejamkan
tetap memejamkan mata. “Doonnn ….. Doonnniiii …. Jangan disitu …..
nanti kalau kelihatan ada tanda merah di leher Ibu bisa gawat ….. nanti
Pak Achmad bisa curiga ….. jangaaan ya Donnniii …….” Kata Bu Ning lirih.
Aku pikir-pikir memang benar juga nih, wah bisa gawat klo ketahuan Pak
Achmad suaminya, bisa-bisa jadi perkara besar mengingat jabatannya
dikantor Pemda.
Segera saja ku alihkan bibirku mencium bibirnya yang merah terbuka dengan gigi-gigi putihnya.
Kemudian ku emut dan kusesap
bibirnya yang menggairahkan itu, air ludah kami berdua bercampur aduk
dan masuk kedalam tenggorokan kami masing-masing saat lidahku dan lidah
Bu Ning bergelut dengan ganas dalam balutan nafsu birahi yang membara.
Air liur kami membasahi bibir dan dagu kami berdua.
Kulihat Ibu Ning seperti
kesetanan mendesah mengerang sambil menjepit kedua pahanya kuat kuat
hingga jari jariku ikut terjepit. Beberapa saat kemudian kemudian Dia
seperti tersadar lalu mendorongku untuk melepaskan pelukanku hingga aku
jatuh terjengkang kebelakang. Lalu dengan cepat Bu Ning bangun berdiri
dan meninggalkan tempat itu. Kemudian terdengar pintu kamar ditutup
dengan agak keras. Aku terkaget lalu buru buru bangun dan membetulkan
letak penisku yang udah ngaceng tegang dan membuatku kesakitan karena
celana panjangku jadi kesempitan.
Aku tetap sabar menunggu Bu
Ning keluar dari kamar tidurnya sambil membaca majalah. Tak lama
kemudian terdengar derit pintu terbuka dan Bu Ning kembali masuk ke
dapur namun sudah berganti baju dengan motif yang lain.
Dia mengambil air minum dan
meneguknya perlahan-lahan sambil memandangiku. Sambil memegang gelas
berisi air setengah dan tersenyum manis padaku.
“Doonn ….. kamu nggak haus …..” tanyanya lembut menggundang.
“Kalau mau minum …. Niihhhh ….
Abisin ya… “ kata Bu Ning sambil mengangsurkan gelas berisi air yang
tadi sudah diminum setengahnya.
Aku segera mengambil gelas
tersebut dari tangannya dan meminumnya dibekas bibirnya yang tertinggal.
Aku meminumnya sambil mataku terus memandangiku Ibu Ning, lidah dan
bibirku menirukan gerakan sedang berciuman seperti yang tadi telah kami
lakukan dengan ganas dan membara. Bu Ning hanya tersenyum dan mencubit
pinggangku dengan gemas.
“Dasaaaar …… bocah gendheng
….. playboy tanggung….” Sungutnya manja. “Awas ya ….. jangan sampai Doni
melakukan hal ini terhadap Dewi ya …. Ibu gak rela klo anak Ibu dewasa
sebelum waktunya” kata Bu Ning mengingatkanku.
“Sumpaaaahhh ….. Bu Ninggg …..
nggak akan terjadi ….” Jawabku mantap. “khan …. Saya udah dapat yang
sesuai idaman hatiku …. Cintaku lebih mantap dengan wanita setengah baya
yang menggairahkan dan seksi.. “ sambungku sambil tersenyum.
“Donnn ….. kenapa kamu suka dengan Ibu yang sudah tua begini …?”.
“Apa sih yang kamu sukai dari wanita seusia Ibu ini …?” Tanya Bu Ning mengejar.
“Aada aja …. “ jawabku sambil duduk kembali.
Aku paling tak suka sama Mbak
Shinta, kakaknya Dewi. Orangnya sombong dan angkuh, tidak seperti Mbak
Anna atau Mas Wawan kedua kakaknya. Mbak Shinta 5 tahun lebih tua dari
aku, kami jarang ngobrol bila aku main ke rumahnya, aku lebih banyak
ngobrol dengan Pak Achmad, Bu Ning, Mas Wawan atau Mbak Anna juga Dewi.
Aku berpikir gimana kalau
sampai mereka tahu apa yang tlah ku perbuat terhadap Ibu mereka ..?.
Dunia pasti akan geger. Sebab aku masih remaja usia 17 tahun berbeda
jauh usianya dengan Ibu Ning yang telah berumur 40 tahun dan telah
bersuami. Untuk beberapa hari berikutnya aku tak berani main kerumah Pak
Achmad. Tapi dalam sehari tak melihat wajahnya Bu Ning yang juga
istrinya Pak Achmad, aku merasa diriku sangat sengsara. Sejak kecil aku
tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Ini yang bikin aku jadi
nakal dan liar.
Aku masih teringat waktu acara
liburan sekolah di SMA, Selama liburan aku tinggal dirumah kakekku.
Rumahnya berada di pegunungan Dieng dimana rumah kakekku dekat dengan
danau telaga warna. Kadang aku ikut kakek memancing ikan untuk
menghilangkan rasa sepi juga sekaligus lauk untuk kita makan. Tapi
hatiku slalu rindu sama Ibu Ning. Akhirnya papaku datang mengunjungi
kami. Aku sangat sayang sama beliau, tapi aku benci istrinya itu. Karena
liburan sekolah hampir berakhir maka ku tak punya pilihan lain selain
harus kembali kerumah itu. Padahal rumah itu bagai neraka bagiku, tapi
ada sosok Bu Ning wanita setengah baya, tetanggaku yang slalu aku
rindukan siang dan malam.
Setelah aku kembali dari
liburan sekolah, untuk sementara waktu aku menahan diri untuk tidak
terlalu sering berkunjung ke rumah Pak Achmad karena aku sengaja
menghindar untuk bertemu dengan Bu Ning yang seksi menggairahkan. Namun
kegiatan sms mesra dengan Ibu Ning tetap aku jalani bahkan aku berani
mengirim sms mesra yang mengatakan klo aku sedang bermasturbasi sambil
membayangkan sedang bersetubuh dengan Ibu Ning. Jawaban sms dari Ibu
Ning juga sangat mesra karena dia mengatakan sangat memimpkan bisa
mengemut dan meminum sperma dari penisku yang masih perjaka tingting.
Aku mulai kembali lagi
berakrab ria dengan keluarga Pak Achmad sebab aku beberapa kali bertemu
dengan Pak Achmad dan Bu Ning saat makan soto ayam di stasiun atau saat
minum wedang jahe bersama temanku bahkan setiap kali bertemu pasti pada
akhirnya Pak Achmad dan Ibu Ning lah yang membayari makanan dan minuman
yang aku makan. Maka setelah beberapa lama akhirnya aku muncul juga
bermain ke rumah Pak Achmad dan Ibu Ning dengan alasan mau pinjam buku
pelajaran si Dewi. Padahal aku sengaja untuk bertemu dan mengobrol
dengan Ibu Ning yang seksi dan menggairahkan.
Ternyata setelah kami berdua
akrab kembali, baru aku ketahui kalau selama ini Ibu Ning juga merasakan
rindu yang tak tertahankan. Sebagai wanita terhormat tentu tak mungkin
bagi Bu Ning untuk datang ke rumahku dan mengutarakan kerinduannya
padaku. Rasa rindu dalam hatinya sedikit terobati bila kami berdua
bertemu muka walau saat itu Bu Ning sedang bersama dengan Pak Achmad
suaminya. Rasa rindu itu makin menggelora tapi tentu saja tak mungkin
diungkapkannya padaku, sebab Ibu Ning ini adalah wanita yang masih
terkungkung oleh norma norma kehidupan dan tradisi orang Jawa dan takut
akan mengundang kehebohan tetangga. Namun dia sama sekali tak bereaksi
ketika aku berusaha lagi untuk mendekatinya, walau aku yakin kalau dia
itu tahu akan gerak gerikku ini.
Waktu aku datang lagi saat jam
2 siang sepulang sekolah sambil memberitahukan Bu Ning kalau si Dewi
baru akan kembali ke rumah nanti sore, karena sore ini Dewi dan
teman-teman lainnya sedang ke rumah Monik untuk rujakan dan makan bakso.
Maklum hari ini ultah si Monik tapi aku sengaja tidak ikut agar bisa
bertemu Bu Ning mamanya Dewi. Waktu itu Bu Ning hanya sendirian di rumah
karena Pak Achmad sedang rapat dinas dikantor Kabupaten.
Ibu Ning memang tak pernah
tidur siang. Waktu aku datang saat dia lagi sendirian duduk di meja
makan sambil membaca majalah, ia menatapku dengan penuh kasih kasing.
Setelah menyapanya aku langsung datang duduk didekatnya. Aku dapat
mendengar setiap helahan napasnya.
"Donnii …..kemana aja kamu …..
bocah … ?". Sialan, ia masih juga memanggilku dengan sebutan anak
kecil, padahal aku sudah di bangku kelas tiga SMA.
“Saya cuma dirumah saja koq
……Bu Ning ….” Jawabku pendek. “Klo saya gak main kesini itu karena saya
sibuk fitness…. “ lanjutku dengan pura-pura serius.
“Fitnes……hebat sekali kamu Donnn ….. Fitnes dimana…?” Tanya Ibu Ning dengan mata berbinar.
“Yaaachhh …. Dirumah sajalahh …. Emang Ibu Ning gak melihat perubahan diri saya…” tanyaku
“Perubahan yang mana yaa ….. emang Doni latihan apa …. “ kejar Bu Ning penasaran, sambil mengamati diriku dari atas ke bawah.
“Saya latihan beban lengan dan eehhhh….. “ aku enggan untuk melanjutkan agar dia penasaran.
“Latihan lengan dan apa Donnn …. Koq gak dilanjutkan sihhh … “ Tanya Bu Ning semakin penasaran.
“Lengan dan kkkk ….. penis saya Bu Ning …. Hii … hiii ..hiii “ tawaku lirih karena berhasil mengerjainya.
“Fitnes lengan dan penis alias onani….” Hee … hee…. tawaku
“Dasar bocah gendheng ……. Tak
pikir serius je … bhule ngapusi tah …. He…. He….” Tawa Bu Ning berderai
mendengar pengakuanku yang kurang ajar sekali.
"Bu Ning …. Doni rindu banget .." jawabku sambil tersenyum padanya.
“Rindu …. Rindu gimana….” Tanya Bu Ning dengan mimic wajah lucu.
“Yaahhh …. Rindu banget sama Bu Ning …. Sampai-sampai kebawa dalam mimpi basah ….” Kataku merayu.
"Doniii …. Doniiii …. Dasar bocah gendheng …." katanya sambil menatapku dan tersenyum.
"Tapi Bu Ning sebenarnya juga suka kan …. Doni kangenin …..?" jawabku menantangnya dan menatap matanya dengan mesra.
"Iya sihh …. Tapi Doni mesti ingat yah klo Ibu ini sudah tua. … !"jawab
Bu Ning dengan suara mendesis lirih.
"Bu Ning masih kelihatan muda
koq …!, Bu Ning masih cantik, ayu dan merangsang …., hanya Bu Ning saja
yang tidak merasa …" aku terus merayu dan meyakinkannya sambil aku
memegang dan mengusap-usap lengannya. Bu Ning diam saja tak bereaksi
ketika kuusap-usap lengannya yang terbuka dan satu tanganku
mengelus-elus pahanya dari luar dasternya.
Aku memeluknya dan mencium
bibirnya sambil kumasukan tanganku ke dalam dasternya dan menyelusup ke
dalam BHnya. Kuremas-remas buahdadanya yang montok dan besar. Karena aku
kurang merasa nyaman maka aku melepas tali simpul baju dasternya maka
daster itu terbuka dan melorot ke bawah perutnya. Tubuh Bu Ning terbuka
hanya mengenakan BH warna coklat muda. Kulitnya yang kuning langsat
sangatlah merangsang birahiku.
Segera saja ku buka hooknya
dan kulepas talinya perlahan-lahan aku menarik lepas BHnya dan
meletakannya di meja makan. Maka kedua buahdadanya yang besar dan montok
itu tergantung layu seperti buah pepaya dengan puting susunya yang
besar dan memanjang berwarna gelap. Kontras sekali dengan warna kulitnya
yang kuning langsat dan mulus bersih itu. Pada perutnya yang agak
membesar itu terlihat guratan guratan tanda pernah melahirkan, nampak
jelas sekali disekitar lobang pusarnya dan bagian bawah perutnya.
Pahanya yang besar itu sudah berlemak yang menggelambir mengantung dan
hampir menutup selangkangnya. Bulu bulu jembutnya sangat tebal dan
memanjang menutupi bagian depan vaginanya. Segera saja kedua tangan Bu
Ning menyilang di depan menutupi kedua buahdadanya yang besar tapi sudah
agak kendor itu, tubuhnya gemetar dan menatapku dengan bingung. Kuminta
supaya Bu Ning bersandar disandaran kursi dan kubuka lebar kedua
pahanya. Bu Ning hanya pasrah mengikuti permintaanku tanpa membantah
sambil duduk dikursi bersandar pasrah seperti orang yang kebingungan.
Buahdadanya yang montok dan
besar tergantung layu seperti buah pepaya, aku remas-remas dan kuciumi
buahdada yang besar itu, kuhisap dan kukemut-kemut putingnya yang
berwarna gelap itu. Bu Ning makin mendesah-desah, kedua tangannya
memegang kepalaku dan membenamkanya lebih kuat ke buahdadanya yang besar
dan kenyal itu. Jari-jari Bu Ning mengusap-usap kepala dan rambutku
dengan gemas. Kulit buahdadanya terasa semakin kenyal saat kukemut dan
kuciumi dengan nafsu birahiku yang semakin memuncak dan nafasku yang
semakin memburu, debar jantungku terasa makin cepat memompa darahku ke
sekujur tubuhku.
“Donnii ….. oohhhh ….. eehhhhh
…… “ Bu Ning makin meracau tak karuan saat bibir dan lidahku mengecup
dan menjilati puting buahdadanya yang semakin tegang dan mengeras dalam
mulutku.
“Donnii ….. oohh.. jangaaannn
…. jangan di cupaaannng ….. oohhhh …. Donnniiin…. Sayaaaannng …..
jangaaaannn …yaaaa …. Nanti bisa bahayaaa …. Klooo sampaaaiiii….. Pak
Achmad tahuuu …. “ kata Bu Ning bergetar menahan gejolak birahi yang
meronta dalam dada menuntut klimaks yang tuntas.
Untuk menghindari bekas cupang
yang akan semakin banyak terlihat di kulit buahdadanya yang putih dan
kenyal itu, maka aku segera berjongkok dan menciumi paha Ibu Ning yang
putih mulus itu. Tanganku meremas dan mengusap-usap bulu-bulu halus
hitam keriting yang tumbuh subur di pangkal pahanya. Beberapa saat
kemudian jari jempol dan telunjukku mulai mengorek-orek dan masuk
kedalam lubang *****nya. Bu Ning makin merintih-rintih dan meracau tak
karuan sepertinya keenakan dan tanganya makin kuat menekan tanganku
untuk semakin dalam memasuki lubang *****nya.
“Donniii …. Donnnii …… “
“aachhhhh …..eheuekk ….
Aaachhh …. “ rintih Bu Ning sambil terus menggeliat seperti cacing
kepanasan. Tangannya mencengkeram tanganku kuat-kuat agar berhenti
mengocok lubang *****nya. Aku menghentikan gerakanku dan menarik keluar
jari-jariku.
“Donnii …. Sayangku …. Ayoo berdiri sayaaangkuuuu …..” pinta Bu Ning manja.
Tapi tiba-tiba tangan Bu Ning
bergerak mengelus-elus pangkal pahaku dan tak berapa lama ritsluiting
celanaku tlah terbuka, tangan Bu Ning yang hangat dan halus memelorotkan
celana dalamku maka penisku yang telah tegang dari tadi segera
mengacung bebas. Jari-jari tangan yang halus milik Bu Ning meremas dan
mengocok maju mundur kepala penisku.
“Donnnii ….. oohhhh ….. kontool kamu besar banget yaaaa ….”
“Hweeehhhh ….. aaahhhh …. Ibu jadi gemas melihatnya. Beda banget dengan milik Pak Achmad …. “ kata Bu Ning kagum…
“Masakkk … siiihhh …. Buuu ……” kataku bergetar menahan nikmat ….
“Dulu milik Pak Achmad memang
bisa tegang dan keras ….. tapi kini setelah makin bertambahnya usia dan
berat badannya maka sekarang milik Pak Achmad udah agak loyo dan lembek,
apalagi bila lagi nggak mood maka sama sekali gak bisa bangun, Ibu jadi
sedih dan kecewa karena tak pernah lagi merasakan kenikmatan bercinta….
“ kata Bu Ning sambil menatapku sayu.
“Donnii …. Sayangku ….. “ kata
Bu Ning tersenyum manis dan tak dapat kucegah tangannya menarik penisku
kearah mulutnya yang terbuka dan segera saja kurasakan hangat dan panas
saat penisku memasuki mulutnya. Kepala penisku terasa basah dan hangat
oleh air liurnya dan ujung lidahnya menggelitik kepala penisku yang
membuatku merem melek merasakan kenikmatan yang tiada tara membuncah
dalam dadaku.
“Ooohhh ….. oohhh….. niiiiikkmaaaaatt …… “ aku merintih keenakan
“Ooohhhhh …… Buuu Niiingg …..
oohh….. enaaaakk …..sekaliiiii ….” Kataku sambil tangan kananku
menggerakan kepala Bu Ning maju mundur semakin cepat ….. dan semakin
cepat … sedangkan tangan kiriku berpegangan erat pada kursi makan yang
diduduki oleh Ibu Ning.
“Buuu Ninnngg ….. oohhh …. Buuu Ninnngg ….. akuuuu …. Akuuu …..!! “
“Oooohhhh …. Bu Ninnnnngg ……
aaakkuu …. Maaauuuu keluaaaarrrr ….. “ aku merem melek sambil merintih
dasyaaatt …. Akibat hisapan dan hangatnya mulut Bu Ning yang sedang
mengemut-emut kepala penisku yang sudah berkedut-kedut tak karuan.
“Ayooo Donii ….. ayoo ….
Muntahkan pejuhmu …. Aayoooo … Kata Bu Ning sambil terus menggerakan
mulutnya maju mundur mengemuti penisku.
“Ayooo …. Sayaaanngkuuuu ….
Ibu pengin merasakan pejuhmu yanggg masih perjaka itu sayaaaannng …. “
kata Bu Ning sambil menatapku sayu, air liurnya membasahi bibirnya yang
hangat. Buahdadanya yang besar dan montok bergoyang-goyang seperti
papaya Bangkok, sungguh suatu sensasi yang tak pernah dapat kulupakan
sepanjang masa.
“Aduuuuuuhhh ….. ooohhhhh ….. Bu Ninnnnggg ……Buuuuu ….!”.
“Bu Niiinnnggg …… Ooohhhh …..
aaaa …. Akuuuuu … keluaaaarrrrr …..!!”. aku mengejan kuat-kuat sambil
memaju mundurkan penisku yang terjepit erat didalam mulut Bu Ning yang
hangat. Pejuhku yang kental dan banyak memenuhi mulut Bu Ning dan
sebagian meluber didagunya. Bu Ning sambil tersenyuumm …. Menelan
pejuhku yang memenuhi mulutnya..
“Ehhhmmmm …… nikmaaaat ….. pejuh seorang perjaka tingting akan membuat wanita akan awet muda…. “ kata Bu Ning bangga.
“Makasih ya sayaaaannngkuuu ……
berikan saja pejuhmu pada Ibu kapan saja Doni pengin dikeluarkan …. Ibu
siap membantu ….” Kata Bu Ning sambil tangannya meraih penisku yang
masih berkedut-kedut dan menempelkanya pada buahdadanya yang besar dan
montok. Terasa hangat dan kenyal saat penisku menempel erat pada kulit
buahdada itu, tangan Bu Ning kembali mengocok-ocok penisku dan tak lama
kurasakan kembali kenikmatan yang membuncah-buncah dan tak lama kemudian
kedutan demi kedutan nikmat mendorong pejuhku untuk menyemprot keluar
membasahi kedua buahdada besar milik Bu Ning yang menggantung layu.
Keringat bercampur pejuh yang
membasahi buahdada montok dan besar yang menggantung layu itu terasa
makin sedap dipandang mata. Tangan Bu Ning mengoleskan seluruh pejuh
bercampur keringat itu keseluruh buahdadanya, seperti sedang luluran
saja.
“Ini adalah resep tradisional
kuno … Donn …. Pejuh yang keluar dari penis seorang perjaka tingting
akan membuat kulit buahdada akan kembali kenyal dan membuatnya tetap
besar dan montok ….” Kata Bu Ning menjelaskan ketidak tahuanku.
“Berarti Bu Ning udah sering donk bercinta dengan pemuda lain…” kataku penuh cemburu.
“Donniii …. Doniiii ….. kamu jangan cemburu gitu donk … sayaaanngg …” rajuk Bu Ning menanggapi pertanyaanku.
“Yaaa ngggaaaklahhh …. Ibu
mempelajarinya dari resep kuno tapi baru sekarang Ibu praktekkan, dengan
Donniii … pejantannn ku ….” Lanjut Ibu Ning sambil memelukku.
Hari itu aku lalui dengan
bahagia sekali karena sudah tercapai keinginanku walaupun aku masih
belum berhasil melakukan penetrasi kedalam *****nya Bu Ning.
Sabtu pagi ketika aku
menjemput Dewi untuk berangkat sama-sama kesekolah, aku sempat bertemu
dengan Pak Achmad papahnya Dewi dan juga Bu Ning mamahnya dewi. Setelah
ngobrol sejenak dengan mereka berdua tak lama aku dan Dewi pamitan
berangkat sekolah, tapi tiba-tiba aku dipanggil oleh Pak Achmad dan Bu
Ning.
“Doni…. Klo malam minggu besok ada acara nggak…?” Tanya Pak Achmad serius
“Eeeghhhh …. Kayaknya blom tuh Pak….. ada apa ya Pak..” Tanyaku bingung.
“Gini Don, besok kan Bapak mau
ke Jogya menengok Mbak Anna dan Mbak Shinta nah kayaknya mau ajak si
Dewi sekalian. Karena Ibu nggak ikut ya maksudnya Doni nemenin Ibu jaga
rumah ini… “ Kata Bu Ning menjelaskan.
“Oooohhh….. klo itu sih bisa
aja Pak, asal Doni dikasih oleh-oleh yang bagus dan enak-enak ya Doni
pasti akan setuju-setuju aja sih….” Kata setuju.
“Yahhh …. Udah.. berarti Doni mau ya….. deal dah…” kata Pak Achmad sambil mengajak salaman aku.
Aku sih senyum-senyum aja karena ini pasti akan asyiik sekali.
Hari Sabtu sore Pak Achmad bersama Dewi berangkat ke Jogya. Sepeninggal Pak Achmad dan Dewi, bibi Isah, pembantu
yang hanya bekerja pagi sampai sore hari ikutan pamitan pulang karena
gak bisa untuk menemani menginap karena anak bungsunya sedang sakit
demam, ikutan pamitan pulang. Maka tinggalah kami berdua duduk ngobrol
sambil tertawa-tawa sambil nonton TV.
Jam 18.00. Aku pamitan pulang untuk mandi dulu baru nanti kembali lagi menemani Bu Ning ngobrol lagi.
“Kenapa gak mandi disini aja
Doni, nanti pakai kaosnya Mas Wawan, klo baju yang itu untuk besok klo
Doni pulang ke rumah..?” kata Bu Ning menawarkan.
“Eeeghhh ….. nanti Mas Wawan klo marah gimana Bu Ning..?” tanyaku
“Yahhhh…. Sebelum Mas Wawan marah… kaos itu sudah rapi kembali di almarinya…” kata Bu Ning tersenyum.
Akhirnya aku meminjam kaos milik Mas Wawan dan menyimpan bajuku untuk besok pagi.
Setelah makan malam yang mesra
dimana aku dan Bu Ning saling menyuapi dan kaki-kaki kami saling
menumpang dan bertaut-tautan dibawah meja makan. Setelah makan malam
kami berdua menonton acara televisi sambil berpelukan mesra, diruang
keluarga. Dengan naluri yang alami, tanganku merambat naik ke bahu Bu
Ning, dengan sekali tarik, terlepas tali pengikat baju di bahu tersebut
dan dengan lembut aku meraba bahu Bu Ning sampai ke lehernya yang
jenjang …. Kemudian turun ke arah dada, dengan remasan lembut aku
meremas buahdada yang masih terbungkus BH itu. “Ahhhhh .…hhhh ….” nafas
Bu Ning mulai terasa menggebu, nampaknya gairah birahinya mulai
memuncak. Jemari lentik Bu Ning tak ketinggalan meraba dan mengelus
lembut dadaku ……dan melingkari pinggangku, mencari kancing celana
jeansku, hendak membukanya ……
Tanganku terus melingkari
pundaknya Bu Ning yang terbuka karena dia hanya mengenakan daster
bertali satu dipundak kiri dan kanannya. Telapak tanganku menempel ketat
di Buahdadanya yang besar dan montok. Aku meremasi buahdadanya yang
sebelah kanan yang masih terbungkus BH dan daster yang dikenakan. Bu
Ning mendesah dan tangan kanannya mengelusi pangkal celanaku yang sudah
menggunduk karena penisku udah mulai bangkit dari tidurnya.
Saat permainan kami udah
semakin panas, Bu Ning menatap dengan pandangan sayu dan nafas semakin
memburu. Bu Ning bangkit berdiri dan mengajakku pindah kedalam kamar
tidurnya.
“Dooonnniiii ……eehhhhhhh ….. pindah kedalam kamar tidur Ibu aja yuk…. Disini gak enak…..” ajak Bu Ning.
“Ayooo Bu Ning…” kataku mesra.
Aku merangkul tubuh Bu Ning
dengan mesra sambil menciumi pipinya yang halus dan kenyal, baju yang
dikenakan Bu Ning udah awut-awutan dimana tali simpulnya udah lepas satu
hingga kulit dadanya yang kuning langsat terbuka dan terlihat seksi
sekali dan lekukan buahdadanya yang montok dan besar terlihat seperempat
bagian.
Aku dan Bu Ning masuk kedalam
kamar tidurnya yang luas dan berbau semerbak harum. Bu Ning duduk di
pinggiran tempat tidur yang bersih dan empuk itu sementara itu aku
mengunci pintu kamar dengan hati berdebar tak karuan karena sebentar
lagi aku merasakan “kenikmatan sorga yang sesungguhnya” dimana sorga itu
sebenarnya milik seseorang yang sangat aku hormati.
Aku duduk disamping tubuh Bu
Ning yang sudah terbuka seperempat bagian, tangan kananku merangkul
mesra pundaknya dan tangan kiriku mengelus-elus baju dasternya dibagian
dada kemudian tangan kiriku menyelusup ke dalam BHnya dan meremas-remas
buahdada besar yang selama ini aku impi-impikan. Pipiku menempel mesra
dengan pipi halus milik Bu Ning dan bibirku bergeser melumat bibirnya.
Mulut kami saling bertaut dengan nafas panas memburu bergemuruh dan
lidah kami saling bergelut hangat. Kedua tangan Bu Ning meremasi pangkal
pahaku sambil berusaha membuka kancing celana Jeans yang aku kenakan.
“Donnnniiii ……… Doonnniii …..
aachhhh… “ rintih Bu Ning sambil menggenggam erat penisku yang sudah
berdiri tegak bagaikan tugu Monas.
“Oohhh ….. Buuu Niiiiinngg …… oohhhh ….” Aku merem melek merasakan kenikmatan saat tangan halus Bu Ning mengocok batang penisku.
“Oohhh …. Doonnniii
sayaaaanngg …… kenapa kamu suka dengan Ibu yang sudah tua ini ……
oohhhh…. Yeessss …. Aaachhhh ……” desah Bu Ning dengan mata sayu
memandangku.
“Buuuu Niiiing ….. aaayuuu
dannn montok menggairahkannnnn …… Doonnniii ….. suka bangeeettt … dengan
buahdada Buuu Niiinng yang besar dan montookkk ini …… “ sambil jari
tanganku memelintir dan meremas gemas buahdadanya yang besar dan kenyal.
Aku berdiri dan membuka kaos
dan memelorotkan jeans dan celana dalam yang aku kenakan dan tak lupa
aku membuka tali simpul dan menarik lepas daster yang dikenakan Bu Ning.
Kemudian aku menarik hook BHnya dan menjatuhkan BH itu ke lantai.
Buahdada yang besar dan montok itu tergantung layu seperti pepaya
Bangkok dengan pentilnya yang berwarna gelap. Membakar nafsuku yang
sudah diubun-ubun kepalaku.
Bu Ning yang memulai gerakan
dengan melingkarkan lengannya ke leher Doni, menarik wajahnya dan
langsung melumat bibir Doni dengan nafsu yang membara. Doni membalas
dengan tidak kalah sengit, sambil meladeni serangan bibir dan lidah Ibu
Ning, tangan Doni meremas buahdada montok milik Bu Ning. Desahan nafas
menderu di seputar ruangan kamar tidurnya Bu Ning yang keramat karena
tidak pernah ada lelaki lain memasukinya selain Pak Achmad suaminya,
diselingi desahan yang menambah gairah. Setelah beberapa saat, Bu Ning
mendorong lembut badan Doni, untuk menyudahi pertempuran mulut dan
lidah, dengan nafas yang memburu.
Doni mendorong lembut tubuh Bu
Ning, berbaring terlentang dengan kaki tetap menjuntai di pinggiran
tempat tidur. Dada yang penuh dengan gunung kembar itu seakan menantang
untuk diremas dan digelomoh dengan puting yang telah tegang. Tanpa
menunggu lama lagi Doni melaksanakan tugasnya menjelajahi gunung kembar
itu mulai dari lembah antara, melingkari dan menuju puncak puting.
Dengan gemas Doni menyedot-nyedot dan memainkan puting susu itu sambil
tangannya meremas-remas lembut buahdada satunya “Ahhhh …. Mhhhh ……
hmmmmm ……. Aahhhhh ….….” Suara Bu Ning mulai kencang terdengar,
desahan-desahan nikmat yang semakin menggairahkan. Doni melanjutkan
penjelajahan dengan menyusuri lembah buahdada menuju perutnya yang licin
karena keringat dan memainkan lidahnya yang kasar pada udelnya yang
membuat Bu Ning menggelinjang-gelinjang kegelian.
Doni menghentikan penjelajahan
lidahnya, kemudian dengan lembut dan cekatan menarik celana dalam Bu
Ning, melepaskannya dan membuang ke lantai. Dengan spontan Bu Ning
mengangkat kedua kaki ke atas tempat tidur dan memuka lebar pahanya,
terlihat gundukan *****nya dengan rambut-rambut keriting halus yang
tertata rapi. Doni mulai kembali aksi dengan menjilati menyusuri paha Bu
Ning yang halus mulus, terus mendekat ke selangkangan mengelumati bibir
***** yang mulai basah mengeluarkan cairan senggama. Tanpa menunggu
lama, Doni menyapu cairan senggama itu dengan lidahnya dan meneruskan
penjelajahan lidah sepanjang bibir ***** Bu Ning dan sesekali
menggetarkan lidahnya yang kasar pada klitorisnya yang membuat Bu Ning
mengerang kenikmatan, ”Ahhhhhh….…. Mhhhhh .…… Mhhhhh…..… Dooonnnnn….…. Uhhhhhh……” desahan birahi yang memuncak dari Bu Ning membuat Doni
semakin ganas dan sesekali lidah kasarnya di julurkan memasuki ke liang
senggama Bu Ning yang menanti pemenuhan itu.
Setelah beberapa menit Doni
mengeksplorasi liang ***** itu, membuat Bu Ning nampaknya tidak sabar
lagi menunggu pemenuhan hasrat birahinya ….
“Dooonnnniiii …. Ayoooo
saaayaaaang ….… masuuukkin Doonnnnn ….…Mhhhh ……. ….. mmmmh.” Suara Bu
Ning disertai desahan-desahan yang semakin memburu kencang.
Dengan tenang Doni menyudahi
penjelajahan lidah kasarnya dan bersiap-siap memasukan penisnya yang
sudah tegang memanjang dari tadi. Mengacung bebas dengan kepala penis
yang merah mengkilap. Bu Ning semakin membuka lebar pahanya,
bersiap-siap menanti pemenuhan terhadap liang senggamanya. Doni naik ke
tempat tidur dan langsung mengarahkan batang penisnya ke arah vagina Bu
Ning yang dengan sigap lansung meraih dan meremas batang kemaluan Doni
dan membantu mengarahkannya tepat ke liang vaginanya.
Dengan sekali dorongan penis
Doni masuk sampai setengahnya. Doni menahan gerakan penisnya sebentar
menikmati sensasi masuknya kepala penis yang sensitif kedalam liang
***** yang basah-basah hangat rasanya menggelenyar yang disambut desahan
Bu Ning,” Aaaahhhh …… Donnnn ..…. Aaaahhh …...Doonnniiii …… ” dengan
tatap mata sayu meresapi masuknya penis sang perjaka sampai
sedalam-dalamnya. Setelah dorongan demi dorongan disertai desah nafas
tak karuan dan batang penis yang masuk seluruhnya barulah Doni memompa
dengan gerakan pantat naik turun dengan irama beraturan, pelan kemudian
cepat dan semakin cepat membuat ranjang bergoyang tak karuan.
Doni bertumpu pada kedua siku
lengan sedangkan Bu Ning mencengkram kuat punggung Doni, meresapi
dorongan dan tarikan penis yang bergerak nikmat di liang senggamanya.
Suara desahan bercampur aduk dengan alunan nafas yang kian memburu dan
peluh mulai bercucuran di sekujur tubuh Bu Ning dan Doni.
“Ooohhhh ……… Ooohhhhh ……
Achhhhh ……. Achhhhhh …….. Donnn ….iiii ….. Doonnnnn …..iiiiiii …….
Ceepaaattttt….. Oohhhh ….. Cepaaaatttt……Donnn ……” tak henti-hentinyanya
desahan dan teriakan penuh nafsu keluar dari bibir Doni dan Bu Ning.
Sesaat Doni menghentikan gerakan untuk mencoba mengambil nafas segar, Bu
Ning memeluk erat Doni dan menggulingkan badan tanpa melepas penis Doni
yang tetap berada di liang vaginanya. Dengan merubah posisi di atas dan
setengah berjongkok, Bu Ning memompa dan memompa menaik turunkan
pantatnya dengan badan bertumpu pada lengan. Sesekali Bu Ning memutar
pantatnya dan kemudian memasukkan batang penis Doni lebih dalam lagi.
Doni tak mau tinggal diam saja, kedua tangannya meremas-remas kedua
buahdada Bu Ning yang montok dan besar seperti buah pepaya yang
menggantung layu dan menarik-narik puting susunya. Suasana persetubuhan
makin hangat membara dengan peluh yang bercucuran, sampai akhirnya …..
Bu Ning sepertinya tak sanggup lagi melanjutkan pompaan pantatnya karena
nafsu birahi yang makin memuncak dan menegang. Dengan sigap Doni
membalikkan posisi badan Bu Ning kembali berada di bawah, dengan
mempercepat tempo dorongan pantatnya ……. Doni meneruskan pendakian
nafsunya ….. “ Donnn …Aaaahhhh …..…Teruuuussss …… Donnniiiii …….
Aaaahhhh ……!!!!!!”
“Buuuu Niiiiiiinnnngggg …….. Aaaahhhhh ….. Buuuuu …….. Buuuuu Niiiiiinnnggggg ………!!!!”
“Doonnnniiii ………Aaaahhhhh ……!!!!”
“Buuuuu ……. Buuuu Niiii ……iinnngggg ………!!”
“Doooonnnniii ……. Dooonniiii
…….!!!” Teriak Bu Ning tertahan sambil mengatupkan bibirnya menikmati
gelombang hangat yang menjalar dengan dasyaat diseluruh tubuhnya,
membuat Bu Ning sedikit bergetar. Aku merasa liang vagina Bu Ning yang
mengalami orgasme itu berkedut-kedut seperti menyedot-nyedot penisku.
Aku menikmatinya dengan memutar –mutar pantat dan memasukkan lebih dalam
lagi batang penisku, dan terasa ada dorongan kuat menyelimuti penisku,
semakin besar …. semakin besar dan sesaat kemudian aku kembali mendorong
penisku dengan cepat dan semakin cepat …… Ku gerakan maju mundur
penisku kedalam *****nya Bu Ning ini sambil menyemprotkan spermaku
kedalam rahimnya.
saat terakhir aku menarik
keluar penisku dari liang *****nya yang hangat dan menyemprotkan sisa
air maninya di atas perut Bu Ning ……
Bu Ning dengan cepat meraih
penisku dan mengocoknya sampai air mani itu berhenti muncrat, dengan
lembut Bu Ning mengusap penis sang perjaka yang mulai layu karena
usainya persetubuhan. Aku membaringkan tubuhku disamping Bu Ning dan
terdiam untuk beberapa saat menikmati rasa hangat yang menggetar sukma
dan raga..
Bu Ning bangkit duduk meraih
kain di pinggiran tempat tidur dan menyeka sisa air mani di perutnya
terlihat guratan guratan tanda pernah melahirkan, nampak jelas sekali
disekitar lobang pusarnya dan bagian bawah perutnya yang bergaris putih
tanda pernah melahirkan. Kemudian dengan manja Bu Ning membaringkan
tubuhnya diatas tubuhku. “Makasih ya sayang… ini menjadi rahasia kita
berdua ya ……… Kalau Doni pengen lagi…. Kapan saja pasti Ibu akan
melayani Doni dengan senang hati …..” kata Bu Ning mesra ditelingaku.
Aku hanya tersenyum mesra
sambil mencium hangat bibir Bu Ning sekali lagi, karena mala ini Bu Ning
telah menjadikanku seorang lelaki sejati yang mengerti lekuk-lekuk
tubuh dan keinginan seorang wanita dewasa.
T A M A T